Dua juta penduduk di dunia meninggal setiap tahun akibat tuberkulosis.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, tahun 2006 di Indonesia
ditemukan 14,4 juta kasus tuberkulosis dengan angka kematian 38 per
100.000 penduduk. Sebanyak 98 persen kematian terjadi pada penduduk usia
produktif.
Meski telah tersedia obat antituberkulosis (TB), TB masih menjadi masalah kesehatan dunia yang utama. Penyebabnya, karakteristik bakteri penyebab TB, Mycobacterium tuberculosis, mampu menghindari sistem pertahanan tubuh manusia sehingga terapi kadang kala kurang efektif.
Pengobatan yang tidak konsisten menyebabkan resistensi obat akibat mutasi kromosom mikobakterium sehingga mampu menghindari efek kerja obat, menjadi kendala tersendiri.
Meski telah tersedia obat antituberkulosis (TB), TB masih menjadi masalah kesehatan dunia yang utama. Penyebabnya, karakteristik bakteri penyebab TB, Mycobacterium tuberculosis, mampu menghindari sistem pertahanan tubuh manusia sehingga terapi kadang kala kurang efektif.
Pengobatan yang tidak konsisten menyebabkan resistensi obat akibat mutasi kromosom mikobakterium sehingga mampu menghindari efek kerja obat, menjadi kendala tersendiri.
Berangkat dari keprihatinan melihat kondisi ini, tiga mahasiswa semester VII Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Solo, yakni Afandi Dwi Harmoko, Yasjudan Rastrama, dan Trisna Adhy Wijaya, menganalisis beberapa penelitian dan menyimpulkan bahwa teh hijau (Camellia sinensis) dapat dijadikan terapi adjuvan (pendukung) bagi terapi TB yang ada. Ini karena teh hijau mengandung senyawa polifenol yang dapat menghambat perkembangbiakan mikobakterium, yakni epigallocatechin gallate (EGCG). Setiap gram teh hijau mengandung 30-50 gram EGCG.
Teh hitam sebenarnya juga mengandung polifenol EGCG, tetapi tidak sebanyak teh hijau. Proses produksi teh hitam membuat kandungan EGCG berkurang.
”Ini sangat menarik karena di negara kita banyak terdapat teh hijau, tetapi kurang optimal pemanfaatannya di bidang kesehatan,” kata Afandi, Kamis (2/2).
Salah satu rujukan yang digunakan ketiga mahasiswa adalah penelitian Anand PK, Kaul D, dan Sharma M di India tahun 2006 tentang polifenol dalam teh hijau yang mampu menghambat perkembangbiakan Mycobacterium tuberculosis. Penelitian ini mengungkapkan, mikobakterium mati setelah 12 jam dipapar EGCG dari teh hijau.
Meningkatkan kekebalan
Menurut Afandi, EGCG memiliki mekanisme sebagai immunomodulator, yakni meningkatkan sistem kekebalan tubuh yang dapat membunuh mikobakterium sekaligus menurunkan sistem kekebalan yang bisa merusak sel-sel normal. Mekanisme ini tidak ditemukan pada obat anti-TB yang digunakan saat ini.
Manfaat lain EGCG adalah sebagai antioksidan yang 10 kali lebih kuat dari antioksidan vitamin C dan 100 kali lebih kuat dari vitamin E.
Selain itu, EGCG juga dapat menghambat pertumbuhan Taco (tryptophan aspartate-containing coat protein) pada makrofag. Makrofag adalah sel imun yang menghancurkan sel cacat sekaligus mematikan zat yang merugikan, seperti bakteri atau virus. Di sisi lain, makrofag tidak dapat menghancurkan mikobakterium karena terlindungi oleh Taco, protein yang dihasilkan makrofag.
”Mikobakterium memanfaatkan Taco untuk melindungi diri sehingga tidak bisa dihancurkan oleh makrofag. EGCG dalam teh hijau dapat menghambat pertumbuhan Taco,” kata Afandi.
Untuk memisahkan EGCG dari teh hijau, menurut Yasjudan, dapat dilakukan dengan mengekstraksi teh hijau dengan metode ekstraksi meserasi, yaitu direndam menggunakan pelarut kloroform, metanol 95 persen, dan etil asetat, kemudian diambil sarinya. Metode ini dapat mengekstraksi tanpa merusak stabilitas EGCG.
”Kami berharap ada penelitian lebih lanjut tentang hal ini, terutama dosis efektif EGCG untuk terapi pendukung serta efek sampingnya,” kata Afandi.
Hasil analisis ketiga mahasiswa yang dituangkan dalam karya tulis ilmiah mendapat juara kedua dalam Lomba Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa Tingkat Nasional Airlangga Medical Scientific Writing Competition dengan tema ”Tropical Infectious Disease” yang diselenggarakan Oktober 2011.
No comments:
Post a Comment